Monday 11 January 2016

MACAM APA ITU KEBENARAN ?

      Hai sob kembali lagi bersama saya di IDAS_PWK kali ini saya akan memposting tentang macam apa itu kebenaran yang di tulis oleh dedy suardy dan akan saya tulis lagi di blog ini, langsung saja ini dia.

      Soal kebenaran tak henti diobrolkan dimana-mana, di rumah_rumah reyot bahkan di vila-vila mewah, di sejuknya puncak-puncak bukit bahkan di kering kerontang nya padang pasir.Kebenaran juga di celotehkan di kelab-kelab malam, bahkan nyaris dibikin bikin cemoohan di tempat-tempat pelacuran atau tempat tempat perjudian!
      sejak binatang keong merayap di dahan-dahan basah, apa yang namanya "kebenaran" itu di kejar orang tanpa kenal capek, yang nyaris menggosongkan benak para failasuf khusuk. Memang, sobat, kita-kita ini termasuk saya tentunya, telah begitu telah berjungkir balik mencari jawaban terhadap pertanyaan: "macam apa itu kebenaran?" Namun, nyatanya yang kita cari itu semakin ngumpet ke dalam gebyarnya citra pandang kita sendiri!
      Manusia abdi Allah, disemaikan di bumi yang penuh daya tipu. Oleh sebab pemukiman manusia itu penuh daya tipu, maka manusia pun bingung, kebenaran yang mana yang mestinya di temukan? Apakah sekadar 'kebenaran inderawi' (rabaan empiris) yang dijumpai sekadar lewat pengamatan pengalaman? Ataukah "kebenaran filosofis' (refletive thinking) yang diraih lewat perenungan yang lebih murni? Apakah barangkali sesuatau yang lebih gagah kedengarannya, semacam 'kebenaran ilmiah' yang lebih rasional yang naga-naganya tersimak lewat konsepsi akal pikiran? Ataukah barangkali suatu kebenaran yang dianggap orang lebih super natural, semacam 'kebenaran religius' yang di turunkan lewat wahyu Allah?
      Setelah manusia bumi puas berkat menjumpai kebenaran inderawinya, maka dalam kepenasaran pikirnya ia masih bertanya secara individual: Sejauh manakah takaran visi dirinya terhadap sebuah objek akan seimbang dengan takaran visi lain? Apakah persepsi seseorang terhadap sebuah objek yang ditatapnya akan sama kadarnya dengan persepsi orang lain? Atau dalam kata gamblangnya, andai saya lihat sebuah benda merah, apakah orang lain pun akan melihat benda  itu berwarna
merah ? Dan lebih jauh lagi,andai saya menyukai benda benda berwarna merah (individual taste), apakah orang lain juga menyukai benda berwarna merah?
      Dan begitu disadari bahwa yang bernama Tjun Sujarman (editor plus dosen seni rupa) tidak melihat merah dari benda yang merah, atau Afandi (seniman) tidak mampu membedakan warna merah dan hijau, maka ilmu cahaya membuktikan lewat berbagai tahapan eksperimen bahwa warna merah dari benda bukanlah kualitas benda sebenarnya! Merah cumalah suatu tejemahan jemalawi dari pancaranm kuantitas getar elektro magnetik sepanjang 6300 Angstom hingga 7000 Angstrom! Begitu pula warna jingga, Kuning, Hijau, biru, violet. Ya, ternyata warna bukanlah kualitas benda yang sebenarnya; warna bukanlah realitas terakhir; warna bukanlah kebenaran absolut1 dan andailat seekor banteng menyeruduk bidang berwarna merah, itu tidak berarti bahwa sang banteng membenci warna merah sebagai kualitas benda,  namun mungkin saja panjang gelombang o=elektromagnetik antara 6300 Angstrom hingga 700 Angstrom yang telah bikin gila sang banteng!*
      Setalah kebenaran inderawi yang menipu manusia itu di luruskan oelh kebenaran ilmiah, ternyata kebenaran ilmiah sendiri masih bertanya tanya dalam takaran kebenarannya sendiri. apa itu gelombang yang menggebyar cahaya? dan setelah teori kuantum muncul memupus kebenaran teori kuno tentang cahaya sekadar sebagai sebuah gelombang, kebenaran final dalam ilmu cahaya masih pula belum berjumpai secara memuaskan, disebabkan oleh ilmuwan jagoan mana pun belum mampu menimbang bahkan melihat "sosok" elektron atau proton yang menggebyarkan cahaya ke tatapan kita. Ternyata kebenaran ilmiah pun cumalah merupakan kebenaran yang sementara belaka, yang betah bercokol dalam sarwa kenisbian!
      Para pejuang kebenaran yang sejati! Selain secara empiris dan rasional, manusia bumi tak henti mencari kebenaran lewat perenungan-penrenungan yang teranggap lebih murni dalam teknik asah pikir yang lebih reflektif sifatnya. Namun para failasuf sendiri masih bingung, bahkan kadang-kadang linglung. menetapkan sebuah tolak ukur yang benar dalam kemurnian pikir itu sendiri. Bentuk pikir macam apa yang berkat kemurniannya akan mampu menjumpai kebenaran? Tatkala kebenaran subjektif dinista karena terngggap memperkosa keobjektifan kebenaran yang di cari, manusia bahkan senakinragu, keofjektifan mana yang pantas di cekal dalam kesementaraan objektivitasnya sendiri. Lebih-lebih lagi tatkala kebenaran individual di cacimaki karena teranggap khianat terhadap kebenaran universal. Dikala itu pula malahan manusia bumi lali akan keuniversalannya, lupa manautkan citra segenap kemanusiaannya dangan citra ilahiyyah yang menapaskan hidup dalam takaran keuniversalan tak semu. maka kebenaran filosofis puun gagal dalam menjupai apa itu kebenaran yang hakiki, yang tak tercemari oleh kebodohan seekor keledai pun, yang tak akan menjadi lebih benar tatkala di filosofi oleh sang filosof agung di manapun,
       Setelah kegagalan demi kegagaglan dialami manusia dalam mencari kebenaran itu, maka bertanyalah manusia dalam nada keputus asaan: Apa tak sedikit manusia bumi yang semakin sadr akan keterbatasan kemampuan indera rasionya dalam menggali hakikat kebenaran. Sebagian manusia (mungkin dalam jumlah yang amat sedikit) bertambah sadarbahwa selama ini subjek terlampaui terhadap oleh wujud atau gebyar lahiriyah dari objek! Keajegan subjek telah dirasa semakin doyong tergunduli bobot rangsangan objek yang terlampaui dominan.
      Berangkat dari kesadaran itulah maka muncullah teori imanen, yang berusaha menangkis diri dari serangan pengaruh objekyang menggebu. Disini, kemampuan akallah yang digiat kan guna meraih apa yang namanya kebenaran itu. Lewat kecerdasan akal, disaringlah mana yang salah dan mana yang benar tanpa secuil pun mengikut sertakan kehadiran bahkan keandalan objek. Dan kendati secara kodrati akal manusia itu memiliki kesempatan guna menemukan kebenaran, sebaliknya amat disayangkan bahwa ternyata subjektivitas manusia tak jarang terlampau banyak mempengaruhi kelurusan akalnya sendiri sehingga dalam keadaan semacam ini, keblinger-lah akal dalam menjumpai kebenaran yang betul-betul benar!
      Berkat risi akan keblinger-nya akal dalam dominasi subjektivitas, maka beramai-ramailah para pakar kebenaran merekat "gambaran pemikiran" dengan "objek yang sesungguhnya" (hakikat). yang dijuluki teori transenden. namun, para pakar kebenaran sendiri di gulati sebuah pertanyaan yang sulit terjawab: Mungkinkah pemikiran manusia akan senantiasa sesuai akan terekat kuat secara sempurna

       Dalam suasana yang semakin bingung, maka tampillah kant untuk menjadi pahlawan kebenaran dengan menyodorkan teori transendentalnya, yang memodifikasi kembali tabiat hubungan subjek dan objek. Menurut sang pemikir, kebenaran cukup ditakar lewat kulakan persesuaian pikiran dengan gejala gejala hakikat dan gejala"sampingan" yang dicerna oleh subyek
       Dalam kegagalan yang bertubi mencari kebenaran yang hakiki, dalam keputusasaaan yang penuh lunglai tanpa daya, dan akhirnya kepada Allah lah jualah manusia kembali "memohon" kebenaran tersebut karena akhirnya akan disadari bahwa Allah lah sumber kebeneran! Manusia yang mencemoohkan arti diturunkannya wahyu Allah tak sedikit yang akhirnya toh membutuhkan wahyu tersebut karena disadarinya bahwa wahyulah yang mampu memisahkan yang benar dari yang salah secara akurat dan bernilai universal.
       Setelah ilmu pengetahuan tok gagal menemukan kebenaran, maka filsafat murni pun terpeleset meraih kebenaran karena filsafat cumalah mampu merangkul "idea" tentang kebenaran itu sendiri, idea kebenaran yang  dilontarkan oleh ego sementara yang tiada sempurna. Oleh sebab ego sementara (manusia) tidak sempurna, maka dibutuhkanlah bantuan "tenaga kesempurnaan" tersebut cumala mungkin didapat dali wahlu Allah, yang merupakan tolak ukur kebenaran yang tak pantas di tawar tawar lagi, yang menceritakan hakikat kebenaran dari jemahan wujud, hakikat kebenaran dari jamahan ilmu, bahkan hakikat kebenaran dari jamahan filsafat manusia!
      Oleh sebab itu, akal tanpa agama adalah linglung, sebaliknya beragama sekedar taklid (tanpa menggunakan akal) adalah bloon 

        Sekian dari saya semoga bermanfaat.

No comments:

Post a Comment